Jumat, 19 Oktober 2012

Dulu dan Kini

Dulu, aku selalu membayangkan dunia yang selalu menjadi sorotan media. Begitu berwarna, penuh imajinasi, penuh sejarah dan penuh intrik kehidupan. Ada rasa ingin mencicipi walau seteguk, bagaimana rasanya berjalan diantara ribuan orang yang penuh mimpi dan hasrat bersaing? Bagaimana melakoni tokoh yang tiap orang perankan, tanpa harus mengcopy karakter tokoh lain? Pikiran seprti ini tak mungkin dipahami orang yang sudah terbiasa diantara sekumpulan orang-orang itu. Dunia yang sering kulihat itu selalu dibatasi kaca setebal 2 inc. Hanya bisa kupandang tak bisa kurengkuh. Tak bisa kuhirup dan merasakan aroma kehidupannya, tapi ku masih bisa memandang dan mengamati keglamorannya.

Dulu, tak ada hasrat di hati ini untuk berlabuh dan membuang sauh. Tak ada keinginan beranjak dari tempatku semula. Tak ada sedikit pun . . . aneh bukan kenapa sekarang aku malah berada di dunia yang penuh intrik kehidupan manusia yang begitu glamour.
Ya benar aku sudah berada disini, berada di dunia yang selalu kuanggap hanya dapat kuamati di balik layar kaca setebal 2 inc. Tersenyumlah... Tertawalah.... tak mengapa, karena ini nyata. Bermimpi pun tidak, apalagi berkhayal mengunjunginya aku tak pernah berani. Jika ku melakukannya berarti aku berani jatuh terperosok karena terlalu tinggi bermimpi untuk terbang.

Tapi, kini kukatakan dengan lantang, selantang yang bisa kalian dengar "aku berdiri disini, berdiri dikota yang penuh mimpi". Lalu aku akan tertawa lepas menertawakan diriku yang bodoh.

Aku tahu dan aku sadar, dimana aku sekarang, dimana kaki ini kupijakkan dan dimana ku bersandar. Hanya saja ada yang masih tak sadar kulakukan, yaitu: pertama jiwaku masih jauh mengembara, kedua aku merasa setengah bermimpi berada dikota ini.
Semenjak datang ke kota ini tanpa sadar ada rasa membandingkan, apa yang ku kerjakan, apa yang kulalui, dan apa yang kulihat selalu kubandingkan. Pembandingan seperti inilah yang sering kali membuat ku lelah. Lelah terhadap hidupku, lelah pada rutinitasku, dan lelah pada ambisiku. Sayangnya aku tak pernah lelah untuk maju meski semua orang mengolok ku dan menderaku.
Satu yang kuyakin, aku masih berdiri disini, beriringan dengan orang-orang yang penuh mimpi dan orang-orang dengan jiwa yang penuh gejolak untuk bertahan hidup.

Terzalimi Ribuan Rindu

Dalam hidup ini penuh tawa dan tangis,
seperti ombak yang membuncah dan menghempas riak ke bibir pantai
tak ada segan ataupun sungkan.
Hanya saja alam terdiam membisikkan pengingkaran.

Masih kuiingat tawa dan tangis itu dalam memori piringan htam
memori yang berisi kejujuran seorang anak manusia
kejujuran yang kini berbentuk luka yang abadi
luka yang membuat ku mampu ...
bercanda dalam keremangan waktu
bergelayut manja dibahu bayangan
dengan ajal diambang pintu.

Ku masih mengingat sejelas mata elang
saat kau tabur kelopak janji
aku hanya terbenam membatu
terzalimi ribuan rindu

Senin, 15 Oktober 2012

My Story

Belum setahun ku berdiri dikota ini, belum genap 8 bulan ku terlelap di kota ini.
Ada rasa bosan muncul secara perlahan dan tak terduga,
seperti angin yang berhembus mengalun tenang.
Aku lupa kapan tepatnya datang ke ibu kota,
lupa kapan pertama kalinya waktu bagian tengah berhenti berdetak dan berganti waktu bagian barat yang mengikuti langkahku.
Bagiku berada dikota ini bagaikan berdiri dipersimpangan jalan,
apa pun yang kupilih terbentang aral dan rintangan.
Pertama kalinya kurasakan silau, seberkas sinar yang belum pernah kujamah mulai menghampiri.
Kusapu hangat penuh tanya, hanya gumaman yang tercipta.
Aku memang berada dikota ini tapi jiwa ku masih jauh mengembara.

Ramadhan Kali Ini

Ramadhan kali ini tak seperti sebelumnya
keriaan anak-anak dipenghujung magrib, tak kudengar lagi
canda, tawa dan tangis syukur tak sejelas dulu
Hanya samar kudengar alunan adzan di tengah hingar-bingar kota
Disini waktu mengalir bagai sulur beringin
panjang dan datar
Hiruk pikuk yang telah biasa kudengar masih terasa asing

Ku ingin seperti dulu
bercanda meski dalam keremangan waktu
bergelayut manja di penghujung hari
hingga ku tengadahkan tangan menghatur syukur

Ku ingin lakukan itu.
Bersanding dengan masa lalu
Bersua dengan sang hari

Tapi,
disini berbeda . . .
Hanya tangan yang masih tengadah menyaji syukur
Meski keterasingan terus menjemput sang hari.